Minggu, 31 Juli 2011

budaya manggarai

Perkawinan tungku adalah bentuk perkawinan seorang pemuda dari pihak keluarga saudara perempuan (weta) dan seorang pemudi dari pihak keluarga saudara laki-laki (nara). Seperti tersurat dari makna leksikal kata tungku ‘sambung’, perkawinan tungku bertujuan menyambung kembali hubungan keluarga antara saudara perempuan dan saudara laki-lakinya yang sudah terputus karena perkawinan cangkang.
Adanya belis secara ketat terjadi dalam bentuk perkawinan yang pertama yaitu bentuk cangkang. Dilihat dari tradisi yang hidup pada awalnya, belis merupakan bentuk penghargaan keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan karena telah menyerahkan anaknya untuk menjadi bagian yang sah dari keluarga besar sang lelaki.

Semula tradisi belis (maskawin) di manggarai tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat manggarai. Belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan manggarai. Belis dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak anak rona dan anak wina. Namun ketika nilai itu mengalami pergeseran ke sifatnya yang pincang dan tidak sesuai dengan makna dasarnya, maka kecemasan, keresahan dan diskusi-diskusi yang produktif pun semakin hangat terjadi dan semuanya itu merupakan usaha manusia untuk mengembalikan keaslian makna dari nilai ‘belis tersebut’. Bahkan ada yang lebih naif lagi yaitu berusaha menghapus bentuk kebudayaan itu karena berada di medan paradoks hidup bermasyarakat karena di tengah situasi masyarakat yang sebagain besar warganya dilanda kemiskinan, belis dari tahun ke tahun semakin mahal bahkan terjerumus dalam hukum permintaan dan penawaran seperti yang terdapat dalam dunia pasar. Sehingga tulisan ini pun berangkat dari kegelisahan yang sama. Sebuah kegelisahan atas budaya yang semula menawarkan nilai yang berharga dan sekarang berubah menjadi momok yang memuakan bagi sebagian masyarakat. Gugatan-gugatan untuk memusnakan budaya itu pun kian menjadi-jadi.
Tulisan ini membawa ketegangan berpikir antara budaya yang membebaskan berupa penghargaan atas diri manusai dan budaya yang mengekang hidup manusia berupa model baru “penjualan manusia” yang lagi marak terjadi dewasa ini. Mungkin istilah “human trafficking” ini sangat mengenaskan bahkan menyakitkan sebagian orang yang masih mengagungkan budaya ini.



Untuk meredam rasa amarah yang kian membeludak, maka saya harus menambahkan kata “terselubung” untuk memaknai kata trafficking secara halus dan tidak melukai perasaan
Mengapa harus disebut bentuk baru penjualan manusia yang terselubung? Mungkin itu yang harus di kaji. Oleh karena setiap pernyataan harus disertai argumentasi yang logis, benar dan jujur. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus kembali ke kegelisahan utama saya dan apa yang sedang saya geluti. Sekarang saya sedang bergulat dengan nilai. Nilai inilah yang diidambakan dan dipegang erat serta dicari oleh sejuta manusia yang sedang memaknai hidup. Budaya belis mendapat gugatan justru karena budaya yang semula meneteng nilai yang begitu indah malah jatuh dalam suatu bentuk nilai baru yang sangat artifisial dan untuk memenuhi hasrat manusia untuk semakin memiliki harta yang melimpah


Besarnya Belis tergantung Pendidikan dan ”kasta” Orang Tua, Semula belis itu dibayar dengan hewan-hewan peliharaan, sekarang dibayar dengan menggunakan uang. Hal ini benar karena alasan praktis di mana manggarai kekurangan hewan untuk membayar dengan cara demikian dan juga berhadapan dengan sebuah jaman di mana uang sudah “nyaris” menjadi segala-galanya untuk transaksi pembayaran. Tidak ada lagi sistem barter. Lalu di manakah letak kengawurannya yang menyebabkan nilai belis yang indah dan luhur itu terkoyak?

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana tegangnya para tongka (jubir) untuk menentukan jumlah belis yang hendak dibayar. Tragis, karena di sana terjadi transaksi berupa tawar menawar seperti menawar barang-barang kebutuhan di pasar. Padahal acara ini menyangkut pribadi manusia yang hendak hidup bersama sehati sejiwa dan sampai mati. Nasib dan masa depan manusia digadai dengan harta. Kemudian hal lain lagi adalah melajangnya seorang gadis seumur hidup karena orang tua dari si gadis itu menetapkan standar yang tinggi untuk belis. Sekali lagi, ini sebuah ketragisan dalam memaknai budaya.
Kenyataan ini sama seperti meng-iklan-kan anak kandungnya sendiri dan siapa cepat dia dapat. Walaupaun akhirnya tetap tidak ada yang berani meminangnya. Dasar dari semuanya ini adalah tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan si gadis itu, maka semakin besar juga standar belis yang dipakai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar